Ketika mendengar nama negar Jepang, maka yang terbayang yaitu orang-orangnya yang sangat disiplin, sopan, pintar dan rajin membaca.
Di jepang murid-murid disana berguru sekitar 12 jam (bahkan lebih) dalam sehari, dari pagi jam 08.00 hingga 17.00. Setelah selesai di sekolah, biasanya bawah umur Jepang berguru di Juku (semacam bimbingan belajar). Alhasil, bawah umur di Jepang umumnya jarang bermain.
Mengenai disiplin waktu oang Jepang, mereka sangat mengahargai waktu, telat bagi mereka yaitu sebuah kesalahan besar dan malu memalukan. Oang jepang juga sangat kreatif dalam berinovasi, dan ada beberapa hal baik lainnya dari orang Jepang.
Tetapi, orang jepang juga memiliki beberapa kebiasaan dan hal-hal yang buruk pada diri mereka. Yang tentunya tidak patut untuk ditiru, hanya yang baik-baik saja yang boleh ditiru.
Kebiasaan dan hal buruk dari orang Jepang (jangan ditiru)
1. Jarang mandi
Melihat orang Jepang yang umumnya kulitnya putih mulus, maka mugkin banyak yang menggangap bahwa orang jepang sering mandi dan luluran, hingga menganggap orang Jepang hobi melaksanakan perawatan kulit.
Akan tetapi pada kondisi bekerjsama tidak demikian, ternyata orang Jepang cukup jarang mandi. Nah, apalagi luluran maka lebih jarang lagi.
Tahukah Anda, bahwa keseharian orang Jepang sebelum berangkat kerja atau berangkat ke kuliah / sekolah hanya mencuci muka dan menggosok gigi saja.
Bahkan, orang Jepang hanya mandi seminggu sekali di pemandian air panas. Yang cukup unik (atau aneh) mandi di pemandian air panas tersebut dilakukan secara beramai-ramai dan tanpa menggunakan pakaian atau busana apapun.
2. Menganggap seks bebas yaitu hal yang lumrah
Sudah menjadi hal umum yang dikatakan banyak orang, bahwa orang jepang sering melaksanakan seks bebas, dimana di Negara Indonesia kita tercinta, seks bebas yaitu hal memalukan dan aib. Sehingga dalam hal ini negara kita masih lebih baik.
Kondisi di Jepang yang menyerupai ini, tak lepas dari tumbuh suburnya industry film p*rno. Hal ini menyebabkan orang Jepang memiliki “sifat” buruk seks bebas ini, yang menyebabkan tingginya penyakit HIV di jepang.
Yang sangat mengejutkan (dapat juga dikatakan mempritahinkan) bahwa sebuah industry film “beginian” di Jepang memiliki pendapatan yang sangat besar, yang setara dengan perushaaan otomotif, Gila kan?
Ada yang mengatakan bahwa 1 DVD yang dijual oleh industry ini harganya mencapai 6000 Yen (sekitar Rp.700.000).
Fenomena dibebaskan-nya dan dilegalkannya penjualan “video panas” ini, menyebabkan sekitar 90% wanita muda di Jepang ketika Ini sudah bukan perawan lagi. Sisanya sekitar 10% yang masih perawan, umumnya karena alasan duduk perkara fisik (kurang cantik).
Sebanyak 67% kekerabatan sex SMA di jepang yaitu sepengetahuan oleh orang renta mereka. 56% dari wanita Jepang melepas keperawanannya ketika masih berada masa SMA.
Bukti wacana kondisi di negara Jepang yang dalam kultur masyarakatnya menganggap seks bebas yaitu hal yang lumrah, bahwa kondom yaitu barang yang sangat laku di jepang.
Bahkan disediakan kotak mesin yang menjajakan kondom di pinggir jalan. Dengan begitu, kebiasaan (buruk) seks bebas di jepang memang terbukti sudah umum dilakukan masyarakatnya. Kalau tidak, apa fungsi dijualnya kondom di beberapa titik di jalanan?
Salah satu akhir dari kondisi di Jepang yang longgar dalam aturan beredarnya video panas ini, yaitu sering terjadi pelecehan seksual di kereta atau lainnya, jikalau Anda melaksanakan searching di Google.com wacana pelecehan seksual di Jepang, maka Anda akan menemukan banyak gosip tentangnya.
3. Sering bunuh diri
Orang jepang sering bunuh diri, hal ini mungkin sudah umum diketahui. Biasanya mereka melaksanakan bunuh diri karena malu (hal ini tidak pantas ditiru), rasa malu tentunya boleh bahkan bagus (seperti malu untuk berbuat kejahatan, korupsi, dll), tetapi cukup bertobat dengan sebenar-benarnya, tidak perlu hingga melaksanakan bunuh diri.
Tidak sedikit pelajar di Jepang yang tidak lulus lalu bunuh diri, ada juga yang bunuh diri di sebabkan karena banyak hutang. Bahkan, di jepang ada tempat-tempat “favorit” untuk bunuh diri, yaitu hutan Aokigahara dan air tejun Kegon.
Tingkat bunuh diri di Jepang yaitu yang tertinggi di dunia. Sedikitnya 76 orang bunuh diri per hari di Jepang sesuai data kepolisian Jepang, tahun 2012. Bunuh diri di Jepang, umumnya karena duduk perkara ekonomi, misalnya terbelit hutang besar.
Empat orang direksi sebuah perusahaan bunuh diri di kota Tokyo, karena perusahaannya terbelit hutang banyak. Sekarang, setiap hari semakin banyak kasus kejahatan, kekerasan, perkelahian, pembunuhan, hingga bunuh diri.
Bahkan dalam seminggu sekali, ada saja muncul kasus bunuh diri pelajar sekolah menggunakan gas beracun. Anak usia 14 tahun itu mengakhiri hidupnya dengan membuat gas beracun sendiri.
Dari pemakaian internet (yang salah), anak kecil mulai sekolah dasar hingga orang remaja mudah mencari segala macam info, termasuk meracik gas beracun. Itulah yang dilakukan anak muda yang bunuh diri di Jepang ketika ini, menggunakan gas beracun.
Akibatnya, bukanhanya dirinya, sekeliling rumah hingga orang tak dikenal, juga jadi ikut korban terkena gas beracun dari kamar tetangga. Ada yang koma dalam waktu lama, ada yang pingsan keracunan, dll. Mengenai hal ini, orang Jepang menyebutnya “Meiwaku desu” artinya sangat menyusahkan orang lain.
Secara umum, ketika ini Jepang sedang sekarat dari segi kemanusiaan. Seorang Shachou (president) perusahaan besar di Jepang, sedikit mengguman, “Mengapa orang Jepang kini semakin lemah ya?”
Lemah bukan dari segi fisik, akan tetapi dari segi mentalnya. Misalnya, menjadi malas untuk bekerja karena motivasi yang semakin rendah, gampang bunuh diri, dsb.
Ada yang mengatakan, kondisi biaya hidup yang sangat tinggi dan kondisi sosial yang menurun di Jepang, berakbiat sebagian orang Jepang ada berpikir buat apa bekerja? Dapat gaji saja masih hidup susah ketika ini (pas-pasan), enakan tidak usah bekerja, tidak usah capek.
Caranya? Dengan melaksanakan hal kurang pandai tersebut (bunuh diri).
4. Harus menuangkan sake kepada atasan
Jepang bekerjsama dalam kondisi sosial masyarakat yang hirarki ketat, yaitu orang-orang yang hanya punya jabatan rendah, harus tunduk kepada atasan-atasan mereka.
Hal ini dapat terlihat di dalam program minum-minum antar pekerja perusahaan, orang yang hanya memiliki jabatan rendah maka harus mengikuti aturan mainnya, yaitu memastikan gelas si atasan (di kontor) tidak pernah kosong.
Sebenarnya budaya menyerupai ini sudah ingin untuk ditinggalkan, hal ini terbukti dari sebuah survey yang dilakukan sebuah lembaga atau organisasi yang mengemukan bahwa sebagian besar orang Jepang muak dengan budaya ini yang dianggapnya buruk.
5. Harus menunjukkan uang untuk datang ke program pernikahan
Perlu diketahui, sebuah fenomena yang unik (atau aneh), bahwa para tamu undangan di program ijab kabul di negara Jepang biasanya diperlukan menunjukkan beberapa ratus dollar (mahal sekali)...
...hal ini layaknya tiket masuk ke dalam undangan. Dalam program pernikahan, biasanya terdapat makanan dan minuman yang istimewa, dan terkadang mendapatkan hadiah.
Berdasarkan sebuah survey, maka sebagian besar responden kurang suka dengan tradisi menyerupai ini. Menurut mereka menjadi sebuah duduk perkara ketika harus membayar ketika ingin masuk ke sebuah undangan pernikahan. Hal ini tak ubahnya menyerupai tiket masuk pertandingan sepakbola atau semacamnya.
6. Maraknya bullying di sekolah Jepang
Masalah bullying atau yang disebut di Jepang yaitu ijime, sudah menjadi sebuah duduk perkara sosial yang cukup serius. Hal itu karena korban ijime ada yang hingga meninggal atau bunuh diri, hal ini cukup sering terjadi.
Bahkan, terkadang guru dan orang renta tidak bisa menangani permasalahan sosial ini. Kondisi senioritas di Jepang sangat kentara. Hal ini yang menjadi pemicu kasus ijime yang cukup tinggi di Jepang.
Bahkan pelakunya bukan hanya dari siswa, akan tetapi guru juga ada yang meng-ijime muridnya, kondisi ini benar-benar buruk. Adapun bentuk ijime ada banyak, menyerupai eksklusif melaksanakan kekerasan fisik, melaksanakan ejekan, pengkucilan, dll.
Pemicu ijime lainnya karena orang Jepang yaitu masyarakat yang cenderung homogen. Mereka terbiasa sama satu sama lainnya, yang takut menjadi berbeda dengan lainnya.
Homogen yaitu seragam. Dikarenakan rasa homogen yang mendarah daging, orang yang berbeda akan menjadi sasaran Ijime. Berbeda dalam hal apa ? Baik itu dalam hal positif ataupun negatif, menyerupai lebih pintar, lebih pendek, memiliki hobi yang aneh, lebih bodoh, murid pindahan (anak baru), orang asing, dll.
Pokoknya yang dinilai mereka di luar dari kebiasaan, keseragaman, atau tidak sesuai dengan standar kelompok, maka seseorang yang berbeda menjadi target Ijime.
Bentuk masyarakat yang homogen ini, sudah diterapkan semenjak anak-anak. Sehingga tidak arang bawah umur asing yang mendapat perlakuan ijime, hanya karena dirinya berbeda dengan teman-temannya.
Penelitian dari Yoneyama dan Naito (tahun 2003) menjelaskan wacana penyebab sekolah menjadi sentra “ijime”., hal itu karena sifat yang melatarbelakangi eksistensi sekolah itu sendiri dalam masyarakat Jepang...
...seperti kekuasaan (authoritarian), sistem berjenjang (hierarchical system), pergaulan yang lebih menekankan pada kekuatan (power-dominant human relationships), dll.
Pelaku Ijime sangat terpelajar membuat situasi seolah tidak ada apa-apa. Biasanya, siapapun yang melaporkan jikalau telah terjadi ijme maka malah menjadi korban selanjutnya untuk di-Ijime, sehingga lingkungan sekitar akan bertindak akal-akalan tidak tahu ketika mereka melihat seseorang yang di-Ijime.
Kondisi menjadi lebih buruk lagi, karena seringkali pihak sekolah dan guru akan menyangkal keras terjadinya Ijime di sekolah mereka, karena tidak mau kredibilitas sekolah mereka turun.
Fenomena “busuk” ini menimbulkan para korban Ijime seakan ditinggalkan dan tidak dipedulikan oleh siapapun, bahkan oleh pihak sekolah itu sendiri. Adapun dari pihak keluarga korban Ijime, sangat sering para orang renta tidak mengetahui bahwa anaknya mengalami Ijime di sekolah.
Lalu apa penyebab orangtua tidak tahu, padahal jikalau pihak rumah bisa tahu lebih cepat, bisa segera dilaporkan ke pihak sekolah? Salah satu alasannya karena orang renta yang dingin akan kondisi si anak, alasan lainnya karena korban yang tidak mau bercerita pada orang tuanya.
Memang sebagian anak korban Ijime ada yang melaporkan duduk perkara ini ke orang tuanya, kemudian orang renta melanjutkan melaporkannya ke pihak sekolah, akan tetapi keadaan malah tambah parah, dimana pihak sekolah yang umumnya tidak tegas, tidak bisa untuk mencegah semakin mengganasnya si pelaku Ijime untuk melaksanakan penyerangan lagi.
Pada sebuah gosip di TV wacana Ijime di Jepang, seorang pelajar SMA yang loncat dari rumahnya, setelah diselidiki ternyata diketahui dirinya sudah lama menjadi koran Ijime. Hal ini diketahui dengan ditemukan barang bukti menyerupai buku sekolah yang penuh dengan goresan pena yang artinya “mati aja lo!”.
Hal ini mungkin salah satu dari ribuan tindakan dari para pelaku Ijime terhadap korban, selain itu juga terdapat aniaya fisik dan psikis. Penganiayaan fisik berupa dipukul, ditelanjangin, di keplak-keplak kepalanya, diganggu jalannya, dll.
Yang lebih mengerikan bentuk dari aniaya psikis, seperi diejek, dihina, dipanggil dengan panggilan yang buruk, dilabrak rame-rame, diejek, lokernya dirusak, sepeda di cemplungin kolam, buku-bukunya dicoret dan ditulisi dengan kata-kata yang kasar, dll.
Hal ini membuat korban merasa dikucilkan, hingga ahirnya ketika korban mencapai titik tertentu maka dirinya merasa tidak dibutuhkan dan ingin mati saja. Segitunya hingga para korban Ijime melaksanakan bunuh diri.
Sumber http://tips47.blogspot.com/
0 comments
Post a Comment